Tulisan: Belajar Menerima (oleh Kurniawan Gunadi)

Dulu, semasa pengetahuan kita masih sebatas apa yang kita lihat. Kita menilai seseorang hanya karena bisa tidaknya dia main basket, atau pintar tidaknya dia dikelas, atau piawai tidaknya dia main gitar, atau bahkan dari sekedar wajahnya bagaimana. Dulu, ketika kita hanya tahu sebatas itu. Mungkin kita akan tertawa mengetahui kita pernah memiliki pemikiran yang demikian. 
Hari ini, ketika apa yang kita ketahui semakin luas. Orang yang kita temui pun semakin banyak. Bahkan buku yang kita baca pun semakin beragam. Kita tahu bahwa ada beberapa hal yang menarik dari diri seorang manusia. 
Pertama bahwa kebaikan itu nilainya relatif, setiap masing-masing kita pun menilai berbeda atas kebaikan orang lain. Kebaikan tidak lagi kita ukur dari harta, wajah, ataupun tingkat kecerdasan. Karena kebaikan akan selalu menjadi kebaikan sekalipun dilakukan oleh seorang preman pasar, pemulung, pejabat negara, siapapun itu. 
Kedua bahwa setiap orang memiliki masa kelamnya masing-masing, ada yang sangat kelam ada yang tidak begitu kelam. Sifatnya relatif. Dan kita sendiri pun memilikinya. Setiap orang berusaha menguburnya dalam-dalam, kita pun demikian. Tapi, ada orang-orang yang pekerjaannya suka menggali itu semua, dijadikan komoditi infotainment, ataupun bahan obrolan. Pelajarannya adalah keburukan akan selalu menjadi keburukan sekalipun dikerjakan oleh seorang ahli agama, pejabat negara, siapapun itu. 
Tidak pernah sesuatu hal buruk menjadi sebuah kebaikan hanya gara-gara yang melakukannya orang (yang dianggap) alim. Tidak demikian. 
Hari ini pun saat kita semua sedang berkelana sendirian, mencari teman untuk melakukan perjalanan. Kita belajar bahwa teman itu tidak selalu dalam bentuk yang sempurna. Kadang dan lebih sering yang terbaik itu justru yang kita perbaiki. Yang paling tepat itu justru yang selalu bermufakat. 
Karena setiap perjalanan manusia itu berbeda, ada yang terjal, ada yang lurus, ada yang mengayuh sepeda, ada yang mendayung perahu. Teman yang kita butuhkan pun tidak sama antara satu dengan yang lain. 
Kita tengah belajar untuk melihat seseorang melalui pikiran dan hati kita secara utuh dan jujur. Tidak lagi dari bagaimana parasnya, tidak lagi dari bagaimana cerdas dirinya. Tapi, menyadari dan jujur pada diri sendiri dan mengakui bahwa kita membutuhkannya meskipun, bukan tapi. 
Kita akan belajar menerima orang lain melalui bagaimana kita menerima diri sendiri. Pada akhirnya yang terbaik itu mungkin benar adalah ia yang bersedia diperbaiki. Saling memperbaiki lebih tepatnya :) 
Rumah, 4 Maret 2015 | ©kurniawangunadi

0 comments:

Post a Comment

Search This Blog